-->

Kualitas Yadnya Bukan Di Lihat Dari Mewahnya (STOP GENGSI)

Post a Comment


Kualitas Yadnya Bukan Di Lihat Dari Mewahnya (STOP GENGSI)

Kualitas Yajña Tidak dilihat dari mewahnya suatu upacara, penomena sekarang ini banyak kita jumpai masyarat hindu yang karena genksi memaksakan kemampuanya dalam bernyadnya, yang ujung-ujungnya menjadi hutang yang dapat membebaninya sendiri. Yadnya merupakan ungkapan kasih sayang, rasa tulus iklas yang kita sampaikan kepada Tuhan atas semua karunia yang di berikan kepada kita dan semua mahluk di alam semesta ini. Selain itu juga di Bali yadnya dilakukan untu menjaga keharmonisan yang kita kenal dengan Tri Hita Karana (Tiga Penyebab Kebahagiaan/ Keharmonisan).


Di dalam yadnya unsur keharmonian dijaga karena  di dalamnya terdapat lima unsur penyucian berupa mantra, yantra, tantra, yajña dan yoga.
a.Mantra yaitu doa-doa yang harus diucapkan oleh umat kebanyakan, Pinandita, dan pendeta sesuai dengan tingkatannya.
b.Yantra yaitu alat atau simbul-simbul keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian.
c. Tantra yaitu kekuatan suci dalam diri yang dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci.
d. Yajña yaitu pengabdian yang tulus ikhlas atas dasar kesadaran untuk dipersembahkan. Ketulusikhlasan ini akan dapat meningkatkan kesucian.
e.Yoga artinya mengendalikan gelombang-gelombang pikiran dalam alam pikiran untuk dapat berhubungan dengan Tuhan. Pengendalian dalam yoga ada delapan tahapan yang disebut : Asta Yoga yang meliputi : Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Darana, Dhyana dan Samadhi.

 Upacara yajña yang besar seyogyanya mengandung lima unsur penyucian itu. Kesimpulannya tujuan yadnya adalah untuk melakukan penebusan utang atau Rna. Sedangkan penyucian dilakukan agar Atman kembali bersatu dengan Paramatma (Putra, 2005 : 17).

   Di dalam melakukan yadnya agar tercapai sesuai dengan tujuan yadnya itu sendiri hendaknya dilaksanakan dengan kualitas yang baik. Di dalam Bhagavadgita XVII, 11, 12 dan 13 diuraikan ada tiga tingkatan yajña dilihat dari segi kualitasnya. Tiga yajña itu yakni :
1.Tamasika Yajña yaitu yajña yang dilakukan tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk sastranya, tanpa mantra, tanpa ada kidung suci, tanpa ada daksina, tanpa didasari oleh kepercayaan.
2.Rajasika yajña vaitu yajña yang dilakukan dengan penuh harapan akan hasilnya dandilakukan untuk pamer saja.
3.Satwika yajña yaitu kebalikan dari Tamasika yajña dan Rajasika yajña bila didasarkan penjelasan Bhagavadgita tersebut diatas (Maswinara, 1997 : 469-470).

SYARAT PELAKSANAAN YADNYA

  Dari uraian tersebut di atas ada tujuh syarat suatu yajña yang disebut Satwika yajña yaitu : sradha, lascarya, sastra, daksina, mantra, gita, annasewa, dan nasmita.

1.Sradha artinya pelaksanaan yajña hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang digariskan oleh peraturan yang beryajña (yajña Vidhi) harus diyakini kebenarnya. Menegakkan keyakinan dalam melakukan upacara yajña adalah sesuatu yang mutlak. Yajña tidak akan membawa dampak spiritual kalu tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang akan menyebabkan semua simbol dalam upakara menjadi bermakna rohani. Tanpa keyakinan yang mantap, lambang-lambang yang terdapat dalam upakara hanya akan berarti sebagai suatu pajangan keindahan material tanpa arti.
2.Lascarya, artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keikhlasan. orang yang ragu-ragu melaksanakanYajña tidak akan mendapat anugrah dari Sanghyang Widhi.
3. Sastra, yaitu hukum yang berlaku dalam melaksanakan  yajña yang disebut Yajña Vidhi.Beryajña haruslah dilakukan berdasarkan petunjuk sastra. Misalnya menurut sastra upacara atma Wedana harus dilakukan setelah upacara Sawa Wedana dan terakhir barulah upacara Dewa Pitra  Pratista. Tapi kalau susunan upacaranya sengaja, dibalik, yaitu upacara Dewa Pitra Pratista dilakukan lebih dahulu, kemudian baru Sawa Wedana dan atma Wedana, ini berarti tidak sesuai dengan sastra.
       Kata sastra dalam hal ini adalah peraturan atau ketentuan hukum yang benar-benar bersumber dari kitab suci. Kedudukan hukum kitab suci Hindu disebutkan dalam Manawa Dharmasastra II,6 sebagai berikut:

Idanim dharma pramananyaha
Wedokhilo dharmamulam
smrti sila cacat widam
acharascai wasadhunam
atmanastuti sewa ca.

Artinya:
           Seluruh kitab suci Veda merupakan sumber pertama dari dharma. Kemudian sumber dharma berikutnya adalah adat istiadat, lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami Veda juga kebiasaan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan diri sendiri ( Pudja, 1995 : 62).

4. Daksina, yaitu suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara. Persembahan ini sangat penting dan bahkan merupakan salah satu unsur untuk suksesnya upacara.

5.Mantra dan Gita sangat penting dalam upacara. Setiap upacara yang berkualitas haruslah ada mantra dan gita (lagu-lagu suci untuk pemujaan) yang diucapkan umat, pinandita dan pendeta sesuai dengan aturannya. Tentang mantra telah dijelaskan pada bagian depan tulisan ini.

6.Annasewa, yaitu jamuan makan kepada tamu upacara (atiti yajña) sesuai dengan kemampuan masing-masing. Namun tentang jamuan ini tidak boleh dipaksakan. Pemberian makan pada para atiti yajña atau tamu yajña, adalah merupakan syarat yang penting dari suatu yajña yang baik. Dalam Manawa Dharmasastra disebutkan, memberi makan dan melayani tamu-tamu yajña adalah tergolong Manusa Yajña yang dalam Manawa Dharmasastra III, 70 dan 81 disebut Narayajña/Nara jnotithi pujanam, maksudnya melayani tamu dengan ramah tamah dan memberikan suguhan dengan ikhlas adalah tergolong Narayajña.
       Kewajiban menjamu dalam kegiatan upacara agama Hindu harus disesuaikan dengan kemampuan. Tidak boleh menjamu secara berlebihan apalagi melampaui batas kemampuan sehingga harus mengambil utang. Yajña yang dilakukan dengan memaksakan kemampuan adalah yajña yang tergolong Rajasika Yajña.
7.Nasmita, artinya bahwa suatu upacara agama hendaknya tidak dilangsungkan dengan tujuan untuk pamer kemewahan atau pamer kekayaan dengan maksud tamu dan tetangga berdecak kagum. Tetapi bukan berarti bagi yang mampu tidak boleh menampilkan kemewahan dan keindahan dalam pelaksanaan upacara, asalkan kemewahan dan keindahan yang dihadirkan itu tidak dilatarbelakangi untuk tujuan pamer apalagi dengan maksud menyaingi upacara yang pernah dilangsungkan oleh tetangga atau orang lain. Kemewahan dan keindahan hanya pantas dilangsungkan dengan tujuan mengagungkan nama Tuhan.

3. Tingkatan Yajña
Tingkatan Yajña dalam hal ini hanya berhubungan dengan tingkat kemampuan dari umat yang melaksanakan Yajña. Yang terpenting dari Yajña adalah kualitasnya. Namun demikian, Veda mengakomodir perbedaan tingkat sosial masyarakat.
Adapun tingkatan-tingkatan yang dimaksud, yaitu:
a. Kanista, yadnya dengan sarana yang sederhana atau minim;
b. Madyama, yadnya dengan sarana menengah, tetapi disesuaikan dengan kemampuan Sang Yadnamana; dan
c. Utama, Yadnya yang dilakukan dengan sarana lengkap, besar, megah, dan cenderung mewah. Biasanya dilakukan oleh mereka yang mampu secara ekonomi, para raja atau pejabat.

4. Praktik Yajña
Dalam rangka melaksanakan Yajña, umat Hindu diberikan kebebasan untuk menyesuaikan besarnya Yajña berdasarkan kemampuan finansial, waktu, dan keadaan. Ajaran suci Veda mengatur pelaksanaan Yajña berdasarkan waktu pelaksanaan, sebagai berikut:

1.      Nitya karma, dilaksanakan setiap hari disebut dengan Yajña Sesa. Pelaksanaannya dilaksanakan setiap habis memasak nasi dalam takaran tangkih yang kecil, nasi ditata, ditabur garam lalu dihaturkan di dapur, talenan, lumpang, batu pengasah pisau, dan sombah.
2.      Naimitika karma, dilaksanakan pada waktu tertentu umpamanya, pada saat upacara Galungan, Kuningan, Saraswati, Nyepi, dan sebagainya.
3.      Kamya karma dilaksanakan secara insidental. Umpamanya upacara 3 bulanan anak, membayar kaul tertentu penebusan roh setelah mengalami kecelakaan.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter