
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Ajaran agama Hindu dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu Tattwa, Susila, dan Acara Agama. Ketiganya adalah satu kesatuan integral yang tak
terpisahkan serta mendasari tindak keagamaan umat Hindu. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang
harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang
dilaksanakan. Susila adalah aspek
pembentukan sikap keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku yang baik
sehingga manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan. Sementara itu aspek Acara atau Upacara adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan
dalam tradisi upacara sebagai wujud
simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya.
Sedangkan
didalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan bahwa kata Upacara mengandung dua pengertian penting yaitu tanda-tanda
kebesaran kerajaan dan Upacara dalamm
arti peralatan (menurut adat) melakukan suatu perbuatan yang dilakukan secara
tradisi, dengan aturan tertentu menurut adat kebiasaan, dan agama (Poerwadarminta, 1984).
Berdasarkan sumber internet (Wayan Fais, Juli 2013) Acara agama adalah wujud bhakti
kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa
dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya acara agama dibagi menjadi dua,
yaitu Upacara dan Upakara. Upacara
berkaitan dengan tata cara ritual,
seperti tata cara sembahyang, hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian upacara.
Sebaliknya, upakara adalah sarana
yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan.http://wayanfai-s.blogspot.com/2013/07/tiga-kerangka-dasar-agama-hindu-wayan. html
Dalam upacara
keagamaan di Bali biasanya tidak pernah lepas dari yang namanya unsur kesenian.
Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan Bali,
menduduki pringkat yang paling menonjol
karena sebagai fokus kebudayaan Bali, kesenian merupakan unsur yang
paling penting dan sentral. Tumbuhnya kesenian di Bali disebabkan oleh dorongan
yang kuat dari agama yang dianut sebagian besar penduduk di Bali yaitu Hindu Dharma. Agama Hindu yang memiliki
unsur-unsur rasional, ritual, emosional, dan kepercayaan, sering menjadikan
kesenian tersebut sebagai drama ritual, menjadi drama untuk memperkuat
kepercayaan serta memformulasikan konsepsi agama dalam kehidupan. Hampir tidak
ada suatu upacara keagamaan yang sempurna tanpa ikut sertanya suatu pameran dan
pertunjukan kesenian baik seni pertunjukan maupun seni rupa. Salah satuya yakni
Wayang Kulit (Wicaksana, 2007: 1).
Wayang kulit merupakan genre seni pertunjukan Bali adalah
warisan budaya leluhur telah mampu bertahan sampai sekarang ini. Wayang tidak hanya didukung di Bali
namun didukung oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dengan berbagai corak
yang khas dan bermutu tinggi sehingga dikatakan sebagai salah satu kebudayaan
nasional (Sedyawati, 1981).
Fungsi
dan peranan wayang sejak terciptanya
dan sepanjang perjalanan hidupnya tidaklah tetap, tergantung pada kebutuhan,
tuntutan dan penggarapan masyarakat pendukungnya. Secara fungsional, dalam
garis besarnya pertunjukan wayang kulit Bali digunakan sebagai: (1) pertunjukan
bebali, yakni untuk menyertai
pelaksanaan upacara keagamaan, seperti upacara
dewa yadnya, pitra yadnya, manusia yadnya, dan bhuta yadnya. (2) pertunjukan
balih-balihan, yaitu pertunjukan
hiburan yang menekankan nilai artistic
dan didaktis (Sugriwa, 1963: 7).
Pertunjukan
wayang atau seni pewayangan ditempatkan pada seni tari bebali, yaitu seni yang dipertunjukan dalam fungsinya sebagai
pengiring upacara dan upakara di pura atau di luar pura. Namun
kenyataanya di lapangan tidaklah semua pertunjukan wayang berfungsi sebagai
pengiring upacara. Wayang Sapuh Leger dalam prakteknya
ternyata tidak sebagai pengiring upacara, tetapi bagian dari upacara itu
sendiri. Sebagai bagian (keharusan) dari keseluruhan upacara, wayang sapuh leger berfungsi sebagai
pelaksana dalam hubungannya dengan upacara agama.
Ada
sebuah fenomena menarik berkenaan tentang hubungan antara pertunjukan wayang
sapuh leger dengan anak/orang yang lahir pada wuku wayang. Fenomena tersebut diyakini oleh orang Bali bahwa orang
yang dilahirkan pada wuku wayang patutlah
diadakan upacara Lukatan/Ruwatan besar
yang disebut Sapuh Leger. Bagi anak
yang diupacarai lahir bertepatan pada wuku
wayang dimaksudkan supaya ia terhindar gangguan (buruan) Dewa Kala. Menurut lontar Sapuh Leger, Dewa Siwa member iji kepada Dewa
Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku wayang. Berdasarkan isi lontar tersebut di atas, umat hindu
pada umumnya, apabila diantara anaknya ada yang dilahirkan pada Wuku Wayang, demi keselamatan anaknya itu orang-orang Bali berusaha
mengupacarainya dengan mementaskan Wayang
Sapuh Leger, walaupun alat-alat perlengkapannya harus dipersiapkan jauh
lebih banyak dari perlengkapan sesajen jenis
wayang lainnya.
Wayang Sapuh Leger dalam
penyampaiaan pesan secara simbolik melalui penyelenggaraan Upacara Lukatan/Ruwatan dengan segala macam perlengkapannya, seringkali
sukar ditangkap secara rosional dan dalam hal ini kepekaan rasa sangat diperlukan
untuk dapat memahami makna simbolik itu. Hal tersebut karena ada hubungannya
antara penyelenggaraan lukatan/ruwatan dengan
bebasnya anak leteh/sukerta dari
malapetaka. Akan tetapi Wayang Sapuh
Leger yang dianggap angker dan penyelenggaraanya paling berat sehinga
sangat mempengaruhi pola piker masyarakat. Hal ini sangat sedikit mendapat
perhatian untuk membuktikan serta mencari jawaban atas penyebabnya. Kenyataan
yang demikian itu pada umumnya hanya diterima begitu saja tanpa tergelitik
untuk menulusuri lebih jauh untuk menemukan apa yang terjadi di balik konsep
penyelenggaraan drama ritual tesebut (Wicaksana, 2007: 7-9).
Berdasarkan
masalah tersebut, peneliti sangat tertarik untuk mengetahui dan mengamati apa
sebenarnya yang ada dibalik pertunjukan drama ritual tersebut, dan seberapa
jauh mempengaruhi kelahiran anak/orang yang lahir pada Wuku
Wayang. Maka dari itu peneliti mengadakan penelitian yang berjudul Esensi Wayang Sapuh Leger Sebagai Ruwatan Kelahiran Wuku Wayang Di Desa
Manistutu Kecamatan Melaya Kabupaten Jembrana (Perspektif Pendidikan Agama
Hindu).
1.2 Rumusan Masalah
Bertitik
tolak dari latar belakang masalah diatas, maka untuk memproleh sasaran dari
penelitian ini maka dapat dirumuskan beberapa permasalahannya secara lebih
tegas sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah Bentuk Upacara Ruwatan Wayang Sapuh Leger?
1.2.2 Bagaimanakah Esensi Upacara Ruwatan Wayang Sapuh Leger sebagai Ruwatan kelahiran Wuku Wayang?
1.2.3 Nilai-nilai apa sajakah yang terkandung
dalam upacara ritual tersebut sehingga dijadikan panutan dan pendidikan dalam
kehidupan masyarakat?
1.3 Tujuan
Penelitian
Berdasarkan atas bebrapa latar belakang
masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka sudah barang tentu
mempunyai suatu tujuan. Apalagi suatu kegiatan yang bersifat alamiah haruslaah
mempunyai tujuan yang jelas akan membantu menentukan menyiapkan sarana yang
diperlukan demi terwujudnya tujuan penelitian tersebut.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini
bertujuan agar masyarakat mengetahui Wayang
Sapuh Leger dalam prakteknya ternyata tidak sebagai pengiring upacara,
tetapi bagian dari upacara itu sendiri. Sebagai bagian (keharusan) dari
keseluruhan upacara, wayang sapuh leger berfungsi
sebagai pelaksana dalam hubungannya dengan upacara agama.
1.3.2
Tujuan
Khusus
Berdasarkan
rumusan masalah diatas adapun tujuan khusus yang menjadi penelitian ilmiah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui
Bentuk Upacara Ruwatan Wayang Sapuh Leger.
2. Untuk mengetahui Esensi Upacara
Ruwatan Wayang Sapuh Leger sebagai Ruwatan kelahiran Wuku Wayang.
3. Untuk Mengetahui nilai-nilai yang
terkandung dalam upacara ritual tersebut sehingga dijadikan panutan dan pendidikan
dalam kehidupan masyarakat.
1.4
Manfaat
Penelitian
Sebuah
karya penelitian akan menjadi bermakna
apabila temuan penelitiannya memberikan kontribusi dari segi teoritis
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretik penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi teoretik mengenai pertunjukan wayang
sapuh leger yang berbasis budaya sepiritual.
Selain itu, hasil penelitian ini
diharapkan dijadikan acuan bagi penelitian lain yang berminat untuk mengungkap
hal-hal yang belum terjangkau dalam penelitian ini.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, temuan
penelitian ini setidaknya bermanfaat dalam beberapa hal sebagai berikut.
1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi seluruh umat hindu di Bali,
yaitu umat Hindu dapat memahami dan mengetahui fungsi, makna serta nilai-nilai
pendidikan yang terdapat dalam pertunjukan wayang sapuh leger.
2. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai refleksi awal dalam
menemukan masalah-masalah baru dalam kaitannya
dengan penelitian tentang wayang
sapuh leger.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP
DAN TEORI
2.1 Kajian
Pustaka
Kajian pustaka merupakan bagian yang sangat penting dari
sebuah proposal atau laporan penelitian, karena pada bab ini diungkapkan
pemikiran atau teori-teori yang melandasi dilakukannya penelitian. Teori yang
disajikan menerangkan antar beberapa konsep yang digunakan untuk menjelaskan
masalah penelitian. Konsep-konsep tersebut kemudian akan dijabarkan mennjadi
variabel-variabel penelitian. Oleh sebab itu, bab ini juga harus menyajikan
temuan-temuan penelitian yang berkaitan dengan masalah atau variabel penelitian
yang pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya (Anggoro, 2010: 22).
Bahan-bahan penelitian dapat diangkat dari berbagai sumber seperti jurnal
penelitian, disertasi, tesis, skripsi, laporan penelitian, buku, teks, makalah,
laporan seminar, dan diskusi ilmiah, terbitan-terbitan resmi pemerintah dan
lembaga lain.
Sehubunngan dengan penelitian yang
dilaksanakan ini, maka beberapa hasil
penelitian yang relevan dengan penelitian yang sedang dilaksanakan dapat
dikemukakan dari beberapa orang peneliti yang telah meneliti tentang wayang Sapu Leger, sehingga diproleh
pemahaman yang komperhensif terhadap permasalahan-permasalahan yang
dikemukakan. Sebagian besar data yang digunakan dalam penelitian ini diproleh
dari sumber-sumber tertulis seperti:
Cahyadi (2006), dalam penelitian
yang berjudul “Nilai-nilai pendidikan
Agama Hindu Yang Terdapat Pada Upacara Bayuh Oton Melalui Pagelaran Wayang
Sapuh Leger” menguraikan secara deskriptif bahwa nilai pendidikan yang
termasuk adalah nilai tattwa, yaitu
usaha manusia dalam melebur sifat ngatif menjadi sifat positif. nilai etika yaitu untuk memperbaiki diri agar
mendapatkan kebahagian di dunia dan akhirat,
dan ritual yaitu suatu kewajiban manusia untuk
melaksanakan ajaran agamanya untuk mrncapai kesempurnaan hidup.
Dalam penelitian ini hanya
menekankan pada nilai-nilai saja, dan menjelaskan secara singkat bahwa Wayang Sapuh Leger untuk menyucikan atau
ngelukat/ngeruwat anak yang lahir
pada Wuku Wayang dengan sarana tirta pewayangan. Namun penelitian ini
tidak menyinggung makna yang ada pada simbol-simbol pada pertunjukan wayang sapuh leger.
Sudha (1980), dalam penelitiannya
yang berjudul “Manusia yadnya dalam
hubungannya dengan Wayang sapuh Leger” menguraikan tentang deskriptif wayang
sapu leger dan hubungannya dengan upacara manusia yadnya terutama anak atau
orang yang lahir pada wuku ringgit. “Sapuh
leger” secara harafiah berarti pembersihan atau penyucian dari keadaan yang
tercemar atau kotor. Secara keseluruhan,
wayang sapuh leger adalah suatu drama
ritual dengan sarana pertunjukan wayang kulit yang bertujuan untuk pembersihan
atau penyucian diri seseorang akibat tercemar atau kotor secara rohani. Namun
penelitian ini juga tidak menyinggung makna yang ada pada simbol-simbol pada
pertunjukan wayang sapuh leger.
Bagus (1985), di dalam penelitiannya
yang berjudul “Upacara Ruwatan di Bali”, menguraikan bahwa upacara penyucian
berfungsi untuk menebus orang yang lahir pada wuku yang dianggap berbahaya. Tujuan dan makna upacara itu adalah
untuk keselamatan dan kesejahteraan orang yang diupacarakan serta apabila
kemudian menjelma kembali agar tidak lagi dilahirkan dalam wuku tersebut. Penelitian
Ngurah Bagus sangat bermanfaat sekali dalam tulisan ini karena berisi kajian
analisis beberapa teks dan lakon wayang
sapu leger.
Manuaba (2013) di dalam Bukunya yang
berjudul “Bayuh Oton” menguraikan bahwa derita bawaan yang dialami oleh umat
manusia adalah dibawa dari kehidupan yang terdahulu yang dinikmati di alam
baka, lalu di bawa menjelma ke dunia. Derita bawaan dapat dientaskan dengan
jalan pengetahuan, dengan jalan bhakti, dengan tapa, yoga, semadi, dengan
sentuhan orang suci, dengan melaksanakan ritual sebagai penebusan.
2.2 Konsep
Konsep
adalah suatu pengertian yang harus terlebih dahulu dipahami di dalam suatu
penelitian ilmiah. Landasan konsep yang dimaksud sebenarnya adalah pustaka
untuk memecahkan masalah penelitian. Landasan konsep dalam penelitian untuk
memecahkan pemikiran yang ada hubungannya dengan pennelitian yang dilakukan. (Iqbal,
2002).
Konsep hendaknya menggunakan bahasa yang sederhana dan
mudah dimengerti. Konsep adalah pengambaran tentang intisari atau kesimpulan
umum dari suatu hal atau suatu gejala sosial. Fungsi konsep adalah
menyederhanakan pemikiran tentang suatu hal sehingga timbul keteraturan dan
kemudahan komunikasi. Dalam proses penjabaran konsep sampai menjadi rangkaian instrument,
menuntut peneliti untuk berpikir mulai dari yang umum ke yang khusus. (Anggoro,
2010).
2.2.1 Esensi
Kata esensi atau
esensial memiliki arti; mendasar, yang
penting, utama, hakiki (Maulana dkk, 2003: 101). Kata esensi ini berasal dari
bahasa inggris yaitu essence yang
memiliki arti sama dengan kata gist, juga sama dengan kata quintenssence yang artinya intisari, pokok, sari pati, inti (Echols
& Sadhilly, 2000). Jadi yang dimaksud dengan esensi adalah; hakikat terpenting,
inti, sari pati, intisari makna, atau hakikat terdalam. Dengan demikian
berbicara masalah esensi Wayang Sapuh Leger Sebagai Ruwatan Kelahiran Wuku Wayang , berarti
membahas secara mendalam untuk mencari intisari makna atau hakikat terdalam dari
Esensi Wayang Sapuh Leger Sebagai Ruwatan Kelahiran Wuku Wayang.
2.2.2 Wayang Sapuh Leger
Munculnya
Pertunjukan wayang sapuh leger di
Bali, masih belum jelas dengan pasti. Untuk mengetahui awal mula kisah ini maka
ditelusuri melalui makna-makna yang tersembunyi
dalam mitos sapuh leger dalam
konteks sosial budayanya. Disini akan diungkapkan kisah yang mendasari drama
ritual, sebab suatu kisah, dongeng, atau mitos tidak hanya merupakan sebuah
dongeng yang tanpa arti atau sekedar alat penghibur di waktu senggang saja.
Akan tetapi lebih dari itu, sebuah dongeng sering kali juga merupakan suatu ungkapan simbolis dari konflik-konflik
batiniah yang ada dalam suatu masyarakat, serta menjadi sarana untuk
mengelakkan, memindahkan dan mengatasi kontrakdiksi-kontrakdiksi yang tak
terpecahkan, sehingga kontrakdiksi tersebut seolah-olah bisa dijelaskan terpecahkan atau mmasuk akal (Wicaksana 2007:
50).
Ada sebuah
fenomena menarik berkenaan tentang kelahiran anak pada hari yang dianggap cemar
atau kotor yaitu pada waktu wuku wayang.
Fenomena tersebut diyakini oleh orang Bali bahwa yang dilahirkan pada hari yang
berbahaya itu, patutlah diadakan upacara lukatan
besar yang disebut Sapuh Leger.
Bagi anak yang diupacarai lahir bertepatan pada wuku wayang dimaksudkan supaya ia terhindar dari gangguan (buruan)
Bhatara Kala. Untuk menghindari dari kejaran Kala, dilakukanlah kegiatan ritual
sehingga ia bebas dari malapetaka tersebut. Wuku
Wayang menurut pemahaman orang Bali adalah waktu menjelang peralihan atau
transisi, sehingga waktu-waktu tersebut dipahamai sebagai saat-saat rawan dan
berbahaya. Secara mistis daya kekuatan fenomena waktu dipersonifikasikan sebagai
seorang raksasa tinggi besar dan menyeramkan, bernama Bhatara Kala.
- Berdasarkan sumber internet Wikipedia ( 5 April 2013). Dalam kitab Kala Tattwa diceritakan, pada waktu Dewa Siwa sedang jalan-jalan dengan Dewi Uma di tepi laut, "air mani" Dewa Siwa menetes ke laut ketika melihat betis Dewi Uma karena angin berhembus menyingkap kain Sang Dewi. Dewa Siwa ingin mengajak Dewi Uma untuk berhubungan badan, namun Sang Dewi menolaknya karena prilaku Dewa Siwa yang tidak pantas dengan prilaku Dewa-Dewi di kahyangan. Akhirnya mereka berdua kembali ke kahyangan. Air mani Dewa Siwa menetes ke laut kemudian ditemukan oleh Dewa Brahma dan Wisnu. Benih tersebut kemudian diberi japa mantra. Dari benih seorang Dewa tersebut, lahirlah seorang rakshasa yang menggeram-geram menanyakan siapa orangtuanya. Atas petunjuk dari Dewa Brahma dan Dewa Wisnu, raksasa itu mengetahui bahwa Dewa Siwa dan Dewi Uma adalah orangtuanya.
Sebelum Dewa Siwa mengakui raksasa
tersebut sebagai putranya, terlebih dahulu ia harus memotong taringnya yang
panjang agar dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Akhirnya syarat
tersebut dipenuhi. Sang raksasa dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Sang
raksasa diberkati oleh Dewa Siwa dan diberi gelar Bhatara Kala. untuk
menghormati hari kelahirannya, Dewa Siwa memberi anugerah bahwa Bhatara Kala
boleh memakan orang yang lahir pada hari "tumpek wayang" dan memakan
orang yang jalan-jalan di tengah hari pada hari “tumpek wayang”. Kebetulan
adiknya, Dewa Kumara, juga lahir
pada hari “tumpek wayang”. Sesuai anugerah Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakannya.
Namun atas permohonan Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakan adiknya kalau
adiknya sudah besar.
Kesempatan itu digunakan oleh Dewa
Siwa. Ia menganugerahi Dewa Kumara agar selamanya menjadi anak-anak.
Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala. Akhirnya ia tidak sabar lagi. Dewa
Kumara dikejarnya. Dalam pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma.
Mereka pun ingin dimakan oleh Bhatara kala sesuai janjinya Dewa Siwa. Namun,
mereka memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan Bhatara Kala
jika ingin memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari
condong ke barat. Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki dan
matahari sudah condong ke barat, maka habislah kesempatannya untuk memakan Dewa
Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka, Bhatara Kala melanjutkan
pengejarannya mencari Dewa Kumara.
Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan
menemukan sesajen yang dihaturkan Sang Amangku dalang yang sedang main wayang. Karena haus
dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya terjadilah dialog antara Sang
Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar segala sesajen yang
dimakan dimuntahkan kembali. Bhatara Kala tidak bisa memenuhi permohonan
tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir
pada hari wuku wayang, jika
sudah menghaturkan sesajen menggelar wayang "sapu leger".
http://id.wikipedia.org/wiki/Batara_Kala
Berdasarkan isi lontar
tersebut di atas, umat Hindu pada umumnya, apabila diantara anaknya ada yang
dilahirkkan pada hari itu, demi keselamatannya, orang-orang Bali berusaha
mengupacarainya dengan mementaskan Wayang
Sapuh Leger, walaupun alat-alat perlengkapannya harus dipersiapkan jauh
lebih banyak.
Sapuh
leger adalah pembuatan air suci (tirta
penglukatan) yang dilakukan seorang dalang sehabis pertunjukan wayang,
ditujukan untuk pembersihan seseorang yang khusus lahir pada wuku wayang.
Istilah sapuh leger
berasal dari kata dasar “sapuh” dan “leger”. Dalam kamus Bali-Indonesia, terdpat kata “sapuh” artinya alat untuk membersihkan, nyapuh artinya membersihkan, masapuh-sapuh artinya melakukan
pembersihan. Kata “leger” artinya
tercemar/kotor. Sapuh Leger secara
harafiah berarti pembersihan atau penyucian dari keadaan yang tercemar atau
kotor. Secara keseluruhan, wayang sapu
leger adalah suatu drama ritual dengan sarana pertunjukan wayang kulit yang
bertujuan untuk pembersihan atau penyucian diri seseorang akibat tercemar atau
kotor secara rohani (Wicaksana, 2007: 33).
2.2.3 Kelahiran
Wuku Wayang
Manuaba,
(2013:22) menguraikan bahwa bagi anak yang lahir pada wuku tumpek wayang dianggap “Salah
Wadi” atau yang lahir salah sesuai dengan nama wuku, lebih-lebih anak yang
lahir pada wuku sukra wayang. Hari sukra
wayang itu disebut sebagai hari yang paling buruk di dalam pecan berhari
tujuh dalam wuku wayang tersebut,
hari sukra Wayang sering juga disebut
sebagai “Kala Mangsa”. Menurut
Kala Purana anak ini dapat disantap
oleh Bhatara kala. Untuk menghindarinya perlu dibayuh dengan penglukatan sang Mpu Leger. Arwati, (2013:24-25) mengemukakan
bahwa tujuan diadakannya pertunjukan dengan lakon “Sapuleger” yaitu untuk memohon air tirtha Wayang yang digunakan
sebagai sarana Ngelukat, Ngeruwat serta menyucikan segala kekotorannya, baik mala maupun noda yang
terdapat pada anak yang diupacarakan itu.
Kelahiran pada wuktu tumpek wayang
memerlukan jenis upakara yang jauh lebih besar karena menggelar wayang sapu leger serta diselesaikan
oleh dalang itu sendiri, dalang inilah disebut Sang Mpu Leger.
Sapuh Leger merupakan sebuah prosees ruwatan/pebersihan
badan manusia agar terhindar dari deraan bawaan. Secara hindu upacara ini
dilakukan karena diyakini bahwa orang yang terlahir tepat pada hari wuku wayang
sangat rawan terhadap musibah.” Ritual ini dilakukan oleh orang yang terlahir
pada wuku wayang, yakni hitungan hari dalam sepekan berdasarkan penanggalan
tahun saka di Bali. Upacara seperti ini
wajib dilakukan sekali seumur hidup orang yang lahir pada wuku tersebut (Manuaba,
2013: 22).
2.2.4 Perseptif
Berdassarkan
sumber internet (Agus Setiaman, 25 November 2008), Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan
tentang sesuatu hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal
berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi
dasar yang menjadi di dasarinya unsur-unsur pembentuknya dan ruang lingkup apa
yang dipandangnya. https://agussetiaman.wordpress.com/2008/11/25/perspektif-sosiologi/
Dengan demikian berbicara masalah
Perspektif Wayang Sapuh Leger Sebagai Ruwatan
Kelahiran Wuku Wayang , berarti memandang atau meyakini secara mendalam tentang
Esensi Wayang Sapuh Leger Sebagai Ruwatan Kelahiran Wuku Wayang.
2.2.5 Pendidikan Agama Hindu
Berdasarkan sumber internet Eli Priyatna
(30 April 2011 ) agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat
manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan
yang bermakna damai, dan bermatabat. Menyadari bahwa peran agama sangat penting
bagi kehidupan manusia maka internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi
menjadi keniscayaan yang ditempuh melalui pendidikan, baik pendidikan
dilingkungan keluarga maupun di Masyarakat. Pendidikan agama dimaksudkan untuk
membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia serta meningkatkan
pontensi spiritual. Akhlak mulia mencangkup etika, budi pekerti, dan moral
sebagai perwujudan dari pendidikan agama
Peningkatan potensi spiritual mencangkup pengenalan, pemahaman,
dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut
dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. http://www.slideshare.net/dasepbux/04-pendidikan-agama-hindu-b
Dengan demikian berbicara mengenai
pendidikan agama hindu berarti mencari nilai yang terkandung dalam Esensi Wayang Sapuh Leger Sebagai Ruwatan Kelahiran Wuku Wayang dalam
kaitannya dengan Pendidikan Agama Hindu.
2.3 Teori
Teori sebagai seperangkat proposisi
yang terintegrasi secara sintaksis yaitu mengikuti satu aturan tertentu yang
dapat dihubungkan secara logis antara satu dengan lainnya dengan data dasar
yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan
menjelaskan fenomena yang dihadapi (Donder, 2005: 78). Adapun teori yang akan diajukan pada
penelitian ini antara lain Teori Fungsionalisme Struktural, Teori
Interaksionisme Simbolis, Teori Fungsi, Teori Religi.
2.3.1
Teori Fungsionalisme Struktural
Masyarakat bagaikan organisme hidup,
oleh sebab itu keduanya dapat dilihat dalam banyak persamaan, misalnya: (1)
Masyarakat maupun organisme sama-sama mengalami perubahan. (2) Karena adanya
pertambahan ukuran maka tubuh sosial dan
tubuh organisme hidup juga mengalami pertambahan. (3) tiap bagian yang
tumbuh dalam tubuh organisme hidup maupun dalam tubuh organisme sosial memiliki
memiliki fungsi dan tujuan tertentu. (4) baik dalam sistem organisme hidup
maupun sistem organisme sosial, perubahan yang terjadi pada salah satu bagian
akan menyebabkan perubahan pada bagaian lainnya dalam satu sistem secara
keseluruhan. (5) bagian-bagian tersebut, walaupun saling berkaitan, merupakan
struktur-mikro yang dapat dipelajari (Spencer dalam Donder , 2005: 85).
Unit tindakan yang bersifat alamiah
dari suatu sistem sosial bagaikan
mekanika klasik. Suatu tindakan adalah bagaian terkecil dari sejumlah tingkah-laku,
yang bisa dilukiskan seperti seorang yang menyeleksi sarana atau cara untuk
memproleh tujuan tertentu yang dipilihnya. Dari sudut deskripsi sosiologis,
bahwa suatu unit bagian atau subsistem sebuah organisme menyumbang sesuatu pada
pekerjaan bagian-bagaian lain atau subsistem-subsistem lainnya (Parson dalam
Cambell, 2001:223).
Dalam kehidupan manusia terdapat
hubungan sosial yang khusus dan membentuk suatu keseluruhan yang padu seperti
halnya struktur organik (Radcliffe-Brown dalam Endraswara, 2003: 109). W.
Robertson Smith menguraikan bahwa upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan
oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan
bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat.
Selain ritual itu ditujukan kepada Dewa
atau Tuhan, tetapi ritual juga
dipandang sebagai tanggung jawab sosial (Smith dalam Koentjaraningrat, 1987:
9-10).
Teori ini diacu untuk memecahkan
masalah sosiologis, mengingat sistem pelaksanaan ritual agama Hindu
terselenggara oleh sebuah sistem kerjasama sosial yang mengoptimalkan
masing-masing fungsi dari setiap unit organisasi sosial dan religi.
Unit
organisasi Seke Wayang merupakan
sub sistem atau unit yang mempunyai andil dalam mensukseskan prosesi ritual,
dengan demikian Wayang memiliki
fungsi sosiologis. Fungsi sosiologis dari organisasi Wayang secara internal mampu menciptakan kebersamaan dalam
perbedaan peran. Seorang anggota Seke Wayang
yakni Dalang, yang bertugas memainkan jalannya cerita pewayangan. setelah dipadukan dengan anggota Seke lainya yang bertugas memukul alat
musik (Gamelan) dengan mengikuti
ketentuan yang telah diberlakukan justru menghasilkan sesuatu yang mengesankan.
Jika salah satu anggota Seke menyimpang
dari ketentuan yang telah ditetepkan, maka seluruh sistem akan kacau. Hal ini
membuktikan bahwa peran masing-masing orang dari komunitas Seke Wayang tersebut menggambarkan akan adanya fungsi sosiologis
dari Wayang (Khan, 2002: 10). Teori
ini membantu memecahkan permasalahan
yang ada pada rumusan masalah pertama.
2.3.2 Teori Interaksionisme Simbolis
Interaksi simbolis dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa
sebagai satu-satunya simbol terpenting, selain itu dapat dilakukan dengan
isyarat-isyarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, simbol
berada dalam proses yang kontinu. Proses penyampaian makna inilah yang
merupakan subjek materi dari sejumlah analisa kaum interaksi simbolis (Mead
dalam Donder, 2005: 86).
Pandangan lain menyatakan bahwa interaksionisme-simbolis
bertumpu pada tiga premis: (1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan
makna-makna yang ada pada sesuatu yang berguna bagi mereka. (2) Makna tersebut
berasal dari interaksi sosial antara seseorang dengan orang lain. (3)
Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi-sosial berlangsung
(Blumer dalam Donder, 2005: 87)
Interaksionisme-simbolis yang diketengahkan oleh Blumer
mengandung beberapa ide dasar, yaitu: (1) Masyarakat terdiri dari manusia yang
saling berinteraksi. Interaksi tersebut saling bersesuaian melalui tinddakan
bersama, membentuk suatu organisasi. (2) Interaksi terdiri dari berbagai
kegiatan manusia yang berhubungan dengan manusia lainnya. (3) Objek-onjek tidak
memiliki makna yang intrinsik, makna merupakan produk interaksi-simbolis. Objek
dapat diklasifikasikan ke dalam kategori: (a) Objek Fisik, (b) Objek Sosial.
(4) Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal, manusia dapat melihat dirinya
sendiri sebagai objek. (5) Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat
oleh manusia sendiri. (6) Tindakan-tindakan itu saling dikaitkan dan
disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok sebagai tindakan bersama (Blumer
dalam Poloma, 2003: 264-265).
Terkait dengan penelitian yang dilaksanakan ini, maka teori
interaksionisme-simbolis digunakan untuk membahas makna wayang sapuh leger. Wayang Sapuh Leger tiada lain adalah
simbol yang bermakna secara filosofis, dan sosiologis. Secara filosofis wayang sapuh leger adalah simbol. Di
dalam cerita wayang sapuh leger
menyimbolkan salah satu dewa/Bhatara, karena mengangkat tentang cerita Bhatara Kala. Teori ini membantu memecahkan permasalahan
yang ada dalam rumusan masalah Pertama yaitu Bentuk
Upacara Ruwatan Wayang Sapuh Leger .
2.3.3 Teori Nilai
Bantas (2009: 8) menyatakan bahwa
nilai-nilai ajaran agama Hindu dapat menjadi media yang sangat efektif dalam
membangkitkan emosi keagamaan sehingga pada gilirannya dapat memantapkan
kekusyukan dalam melaksanakan upacara-upacara agama.
Sesuatu
nilai memang mungkin diturunkan dari persepsi seseorang mengenai sesuatu yang
luhur, manusiawi, bermutu dan mulia. Nilai itu dapat pula diturunkan dari
persepsi seseorang tentang sesuatu atas tingkat kemampuan yang praktis.
Interprestasi nilai memang seharusnya berangkat dari pandangan yang menyatakan
bahwa karya seni adalah sebuah sistem nilai dan ide vital yang dihayati oleh
masyarakat pada saat tertentu yang lebih menunjukkan adanya titik tolak dan
arah. pokok itu menjadi empat bagian yaitu : (1) Nilai Agama meliputi nilai
religius, magis, kepercayaan dan nilai spiritual. (2) Nilia logika meliputi
nilai intelektual, ilmiah (pengetahuan) dan nilai empiris. (3) Nilai etika
meliputi nilai moral, sopan santun, manusiawi, etik, dan lain-lain. (4) Nilai
estetika meliputi nilai keindahan, keseimbangan, keagungan, keasrian dan
lain-lain.
Nilai
dimaksud sebagai suatu kemampuan yang dapat mendatangkan kemakmuran bagi
kehidupan manusia. Teori
ini membantu memecahkan permasalahan yang ada dalam rumusan masalah ketiga,
yaitu Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara
ritual tersebut sehingga dijadikan panutan dan pendidikan dalam kehidupan
masyarakat.
2.3.4 Teori Religi
Pusat dari tiap sistem religi dan
kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara. Manusia beranggapan bahwa dengan
ritus itu akan dapat mencapai tujuan hidupnya baik yang bersifat material
maupun spiritual (Koentjaraningrat, 1987 : 69 ). Suatu ritus atau upacara
religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu, dua atau
beberapa tindakan. Dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan berbagai macam sarana dan
pralatan, seperti tempat atau gedung pemujaan, patung dewa, patung orang suci,
alat-alat bunyi-bunyian suci. Para pelaku upacara sering kali harus menggunakan
pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat suci (Koentjaraningrat, 1987: 81).
Religi merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan suatu
masyarakat. Dalam masyarakat sederhana religi merupakan sumber utama kohesi
sosial (Djuretna, 2003: 128).
Dalam ritual pada
satu sisi berdiri konsepsi tentang dunia, dan pada sisi lain berdiri
serangkaian suasana hati dan motivasi yang dibimbing oleh ide-ide moral dan
secara bersama-sama terletak pada inti agama (Pals, 2001: 416-417).
Ketika religi belum hadir dalam kebudayaan manusia, manusia
hanya menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan masalah-masalah hidup yang berada
di luar jangkauan akal dan ilmu pengetahuan . ketika mereka menyadari bahwa
ilmu gaib tidak bermanfaat lagi bagi mereka mulailah timbul kepercayaan bahwa
manusia ingin menjalin hubungan dengannya, maka timbullah religi. Relligi
adalah segalan sistem perbuatan untuk mencapai suatu maksud dengan cara
menyadarkan diri pada kehendak dan kekuasaan makhluk-makhluk halus (misalnya:
roh, dewa, dan sebagainya) yang menghuni alam semesta ini.
Bali memiliki pelaksanaan upacara
khas, seperti Wayang Sapuh Leger pada saat Tumpek Wayang bersifat religius,
magis, dan spiritual, yang berhubungan dengan wawasan mitologis, kosmologis,
dan arkhais, sehingga memunculkan simbol-simbol yang bermakna bagi penghayatan
dan pemahaman budaya masyarakat Bali. Simbol-simbol tersebut terungkap baik
lewat lakon, sajian artistik, fungsi, sarana, dan prasarana yang digunakan.
Sedangkan maknanya mengendap dan menjadikan sistem nilai budaya yang berfungsi
sebagai pedoman tinggi bagi kelakuan manusia Bali. Dalam konteks ritual, Wayang
Sapuh Leger berfungsi sebagai pemurnian (furikasi) bagi anak/orang yang lahir
pada hari yang oleh orang Bali dianggap berbahaya yaitu pada wuku Wayang,
sehingga ia berfungsi sebagai pengukuhan atau pengesahan dari bentuk ritual
keagamaan dan institusi-institusi sosial budaya masyarakat Bali. Karena salah
satu perwujudan dari sistem religi mempunyai fungsi sosial untuk
mengintensifkan solidaritas komunitasnya (Wicaksana, 2007). Teori ini digunakan
untuk memecahkan rumusan masalah kedua, yaitu Esensi
Upacara Ruwatan Wayang Sapuh Leger
sebagai Ruwatan kelahiran Wuku Wayang.
BAB III
Metode Penelitian
Penelitian
ilmiah mempunyai cirri-ciri penggunaan metode yang sesuai dengan tujuan penelitian
serta bidang yang di teliti. Metode yang
dipergunakan dalam meneliti sangat berpengaruh kepada haasil penelitian yang
diharapkann. Menyadari hal itu maka sebelum mengadakan penelitian harus
memiliki metode yang sesuai dengan jenis, macam, dan tujuan penelitian. Dalam
melaksanakan suatu penelitian tentu didasari oleh tujuan yang ingin dicapai.
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan
dibutuhkan suatu teknik atau metode yang sesuai dengan permasalahan yang akan
dikaji. Metode merupakan suatu cara atau jalan yang memiliki kaitan dengan
suatu upaya ilmiah yang merupakan cara kerja untuk memahami sasaran ilmu yang
bersangkutan (Koentjaningrat, 1993: 7). Kemudian dalam sebuah buku yang
berjudul metodelogi penelitian dikemukakan tentang penelitian yang merupakan
pencarian atas sesuatu secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini
dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan (Nasir, 1998: 13-14).
Jadi metodelogi sangatlah penting dipergunakan dalam kegiatan mengadakan
penelitian dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, agar penelitian
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Maka metode yang dipergunakan harus
sesuai dengan penelitian yang akan dikaji sehingga mampu menghasilkan data yang
objektif. Memperhatikan batasan metode yang telah diuraikan, memberikan
pengertian kepada peneliti bahwa metode mempunyai fungsi yang sangat penting
dalam penelitian.
Metode merupakan jalan yang
harus dilalui untuk mencapai tujuan penelitian. Hal ini berarti tujuan
penelitian juga menentukan metode yang sesuai dalam suatu penelitian. Selain
itu metode dapat mempengaruhi tercapainya tujuan penelitian. Jadi antara metode
dan tujuan penelitian mempunyai hubungan
timbal balik. Metode menentukan tercapainya tujuan dan pemilihan metode
tergantung dari tujuan yang ingin dicapai. Penelitian adalah suatu proses
mencari sesuatu secara sistematis dalam waktu yang relatif lama dengan menggunakan metode ilmiah serta
aturan yang berlaku. Dalam proses penelitian ini ditunjukkan untuk lebih
mengenal hubungan antara bagian-bagian utama khususnya hasil pengadaan jasa
konstruksi terhadap kinerja pelaksanaan
konstruksinya. Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh penelitian
dalam mengumpulkan data penelitiannya. (Arikunto, 2006: 160).
Mengingat pentingnya metode
dalam suatu penelitian ilmiah, maka dalam penelitian pengguanaan metode
penelitian dapat di rinci di bawah ini.
3.1
Jenis
Penelitian dan Pendekatan
Jenis
penelitian dan pendekatan yang dilakukan adalah bersifat deskriptif sebagai
ciri khas dari penelitian kualitatif.
penelitian kualitatif adalah data yang berhubungan dengan kategorisasi,
karakteristik berwujud pertanyaan atau berupa kata-kata (Riduwan: 2009: 5).
Sedangkan deskriptif adalah suatu cara mengolah data yang dilakukan dengan
jalan menyusun secara sistematis, sehingga memproleh suatu kesimpulan. Dalam
pengolahan data secara deskriptif data yang diolah dikombinasikan antara yang
satu dengan yang lainnya, selanjutnya disusun secara sistematis dengan harapan
dapat ditarik kesimpulan secara umum (Sutrisno (1986: 8). Alasan menggunakan jenis penelitian dan pendekatan yang dilakukan ini karena peneliti
adalah instrument kunci. Oleh karena itu peneliti harus memiliki bekal teori
dan wawasan yang luas, jadi bisa bertanya, menganalisis, dan mmengkonstruksi
objek yang diteliti menjadi lebih jelas.
Sehubungan
dengan penelitian ini, maka jenis penelitian dan pendekatan yang dilakukan
adalah bersifat deskriptif sebagai ciri khas dari penelitian kualitatif, karena
dalam penelitian ini akan berusaha menggambarkan fakta-fakta atau
masalah-masalah yang diselidiki, terutama dalam kaitannya dengan masalah Esensi
Wayang Sapuh Leger Sebagai Ruwatan Kelahiran Wuku Wayang Di Desa
Manistutu, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana.
3.2 Lokasi Penelitian
Penetapan
lokasi penelitian ini mengacu pada karakteristik wilayah penelitian, sehingga
dengan demikian diharapkan dapat ditetapkan objek penelitian yang merupakan
representasi dari wilayah yang terkait dengan persoalan yang diteliti. Terutama
dalam menetapkan lokasi penelitian yang ditentukan secara purposive. Kegiatan penjajagan lokasi penelitian dilakukan dalam
waktu yang cukup lama, agar informasi yang diproleh memadai untuk dianalisis.
Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Manistutu, Kecamatan Melaya, Kabupaten
Jembrana. Perbedaan wayang sapuh leger pada lokasi penelitian ini yaitu pada bentuk upacaranya, dalam melaksanakan Upacara Ruwatan banten Pewayangan biasanya ditempatkan atau dijejerkan
secara rapi, namum banten yang
digunakan hanya ditempatkan dalam tempat (keranjang)
besar dan diberi dupa. Alasannya karena sempitnya pekarangan rumah. Wlaupun
banten pewayangan hanya ditempatkan disebuah keranjang besar dan pertunjukan Wayang Sapuh Leger diselenggarakan di
dalam pekarangan rumah, namun tetaplah dianggap sakral karena jenis wayang ini menjadi bagian (wali) serta pengukuhan terhadap upacara
keagamaan (manusa Yadnya) (Wicaksana
2007: 24).
3.3 Subjek dan Objek Penelitian
Metode penentuan
subjek penelitian adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan subjek,
objek dan tempat penelitian yang cici-cirinya populasi yang sudah diketahui
serta dipandang ada sangkut pautnya
dengan cirri-ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Jika dikaitkan
dengan permasalahan yang diangkat dengan penelitian ini adalah subjek dan objek
penelitian. Adapun subjek dan objek penelitian ini adalah:
3.3.1
Subjek
Penelitian
Berdasarkan
sumber dari internet (Subliyanto, 1 Juni 2010). Subjek penelitian adalah
sekelompok masyarakat yang dipilih berdasarkan atas ciri-ciri tertentu yang
dipandandang mengetahui dengan permasalahan yang diangkat. Subjek penelitian
yang merupakan sesuatu, baik orang, benda atau pun lembaga (organisasi), yang
sifat keadaannya (atribut-nya) akan diteliti. Dengan kata lain subjek
penelitian adalah suatu yang di dalam dirinya melekat atau terkandung objek
penelitian. Jika berbicara tentang subjek penelitian, sebetulnya berbicara
tentang unit analisis, yaitu subjek yang menjadi pusat perhatian atau sasaran
peneliti.http://subliyanto.blogspot.com/2010/06/subjek-penelitian-dan-responden.html
jadi
yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian
ini adalah Dalang, pihak
keluarga yang melaksanakan Upacara Ruwatan Wayang Sapuh leger, Sulinggih, dsb.
3.3.2
Objek
Penelitian
Berdasarkan
sumber dari internet informasi pendidikan ( Pada dasarnya objek merupakan apa yang
hendak diselidiki di dalam kegiatan penelitian. Menurut pengertian, objek adalah
keseluruhan dari gejala yang terdapat di sekitar kehidupan. Apabila dilihat
dari sumbernya, maka objek di dalam suatu penelitian kualitatif disebut sebagai
situasi sosial yang di dalamnya terdiri dari tiga elemen yaitu : Tempat,
Pelaku, Aktivitas. http://www.informasi-pendidikan.com/2013/08/objek-penelitian.html
Jadi yang menjadi
Objek penelitian pada penulisan ilmiah ini adalah Esensi Wayang Sapuh Leger Sebagai Ruwatan
Kelahiran Wuku Wayang, yang bertempat
Di Desa Manistutu, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana.
3.4 Jenis dan Sumber Data
Dalam melakukan suatu
penelitian, serta mendapatkan hasil yang diharapkan, perlu adanya pengumpulan
data melalui sumber-sumber data yang dapat dipercaya yang dijadikan sumber
tujuan. Karena dengan mengetahui jenis
penelitian secara baik akan mempermudah dalam menentukan jenis dan
sumber data yang diperlukan dalam sebuah penelitian.
Data yang dikumpulkan pada penelitian
ini tidak saja berupa data primer yang diproleh dari informan, tetapi juga
berupa data skunder yang diproleh dari sumber pustaka yang dianggap relevan.
3.4.1 Jenis Data
Jenis Data
penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode
kualitatif ini memberikan informasi yang mutakhir sehingga bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai
masalah (Nasution, 1996). Penelitian kualitatif bisa mengambil berbagai bentuk
dan dilaksanakan dalam berbagai latar. Oleh karena itu rancangan yang
dipergunakan bersifat fleksibel dan sementara, karena akan selalu disempurnakan
serta disesuaikan secara terus menerus dengan kenyataan yang ada dilapangan.
Penelitian
kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam
pnelitian kualitatif, peneliti adalah instrument kunci. Oleh karena itu
peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas, jadi bisa bertanya,
menganalisis, dan mmengkonstruksi objek yang diteliti menjadi lebih jelas.
Sehubungan dengan penelitian ini, maka jenis penelitian yang dilaksanakan
adalah penelitian kualitatif, karena dalam penelitian ini akan berusaha
menggambarkan fakta-fakta atau masalah-masalah yang diselidiki, terutama dalam
kaitannya dengan masalah Esensi Wayang
Sapuh Leger Sebagai Ruwatan Kelahiran
Wuku Wayang Di Desa Manistutu, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana.
3.4.2 Sumber Data
Menurut
Arikunto (2006: 129), menyatakan bahwa sumber data dalam penelitian adalah
subjek dari mana data dapat diproleh. Apabila peneliti menggunakan Kuesioner atau wawancara dalam
pengumpulan datanya, maka sumber data yang dissebut responden, yaitu orang yang
merespon atau menjawab pertanyaan. Pertanyaan peneliti, baik pertanyaan
tertulis maupun lisan.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat dicermati bahwa data adalah informasi yang diproleh
secara langsung dari sumber informasi yang masih bersifat mentah sehingga harus
segera diolah untuk dapat disajikan ke dalam bentuk hasil penelitian. Sejalan dengan
pendapat di atas, maka data dalam penelitian ini berupa informasi kepada tokoh
masyarakat Desa Manistutu yang tau tentang Esensi Wayang
Sapuh Leger Sebagai Ruwatan Kelahiran
Wuku Wayang Di Desa Manistutu, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Dengan
menggunakan alat bantu berupa alat tulis. Adapun data yang ditulis adalah data
yang muncul secara alamiah sesuai dengan gejala empirik yang ada dilokasi
penelitian. Dalam suatu penelitian perlu sumber-sumber data yang jelas dalam
melakukan peneliitian. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data
primer dan data skunder, adapun data yang dimaksud adalah:
1. Data
Primer aalah data yang diproleh langsung dari lapangan. Data ini disebut juga
data asli (Iqbal, 2002: 167). Data asli dalam penelitian ini di dapat
berdasarkan penelitian dilokasi lapangan yaitu berupa keterangan-keterangan atau
informasi dari para informan dan juga dari hasil observasi atau pengamatan
lapangan.
2. Data
Skunder adalah data yang diproleh dari sumber yang telah ada. Data ini biasanya
diproleh dari perpustakaan atau dari hasil laporan para peneliti dahulu (Iqbal,
2002: 167). Dalam penelitian ini data skunder diproleh melalui buku, majalah
dan yang lainnya yang ada kaitannya dengan topik penelitian.
3.5 Teknik Penentuan Informan
Yang
dimaksud dengan informan adalah orang-orang yang mengetahui dan dapat
memberikan informasi tentang Wayang Sapuh
Leger. Dalam penelitian ini, ada
beberapa pertimbangan untuk menentukan informan sebagai sumber informasi. Dalam
mentukan informan pertimbangannya adalah:
1. Keakuratan
dan validitas informasi yang diproleh. Berdasarkan hal ini maka jumlah informan
sangat tergantung pada hasil yang dikenhendaki. Bila mereka yang menjadi
informan adalah orang-orang yang benar-benar
menguasai masalah yang diteliti, maka informasi tersebut dijadikan bahan
analisis.
2. Jumlah
informan sangat bergantung pada pencapaian tujuan penelitian, artinya bila
masalah-masalah dalam penelitian yang diajukan sudah terjawab dari beberapa
informan, maka jumlah tersebut adalah jumlah yang tepat.
3. Peneliti
diberi kewenangan dalam menentukan siapa saja yang menjadi informan, tidak
terpengaruh jabatan seseorang. Bila saja peneliti membuang informan yang
dianggap tidak layak.
Untuk
mendapatkan data tentang Esensi Wayang Sapuh Leger Sebagai Ruwatan Kelahiran Wuku Wayang Di Desa
Manistutu, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, diperlukan berbagai informasi.
Informasi yang dimaksud adalah
orang-orang yang mengetahui dan mampu memberikan informasi yang seluas-luasnya
tentang penelitian yang akan diteliti. Adapun para informan yang dapat
dijadikan sumber informasi adalah Dalang,
pihak keluarga yang melaksanakan Upacara
Ruwatan Wayang Sapuh leger, Sulinggih, dsb.
Dari sejumlah
innformasi yang dianggap mengetahui prihal tentang Esensi Wayang Sapuh Leger Sebagai Ruwatan
Kelahiran Wuku Wayang Di Desa Manistutu, Kecamatan Melaya, Kabupaten
Jembrana. Kemudian diadakan penentuan secara selektif siapa saja yang dianggap
paling layak dijadikan informan. Penentuan informan ini berdasarkan teknik Purposive Sampling yaitu penentuan
informasi berdasarkan kemampuan informan bersangkutan untuk secara akurasi
dapat memberikan dapat memberikan data yang diperlukan sessuai dengan tujuan
penelitian (Bugin, 2001: 118). Selanjutnya dalam menentukan informan
menggunakan teknik Snowball yaitu
penentuan informan berdasarkan teknik bola salju bergulir (Kartono, 1996: 189).
Lebih jelas dapat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan teknik Snowball adalah dari informan kunci
dimintai informasi tentang informan selnjutnya. Dari informan kedua kembali
dimintakan pendapatnya mengenai informan berikutnya. Demikian seterusnya sampai
data yang diperlukan menncapai titik jenuh sesuai dengan tujuan penelitian dan
data yang diperlukan dianggap sudah memadai. Moleong (1993: 90) mengemukakan
bahwa informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian.
Mengenai metode penentuan informan dalam penelitian ini akan mempergunakan
teknik Snowball Sampling. Riduwan
(2004: 64) menyatakan bahwa Snowball
Sampling yaitu teknik sampling yang semula berjumlah kecil kemudian anggota
sampel (informan) mengajak para temannya untuk dijadikan sampel dan seterusnya
sehingga jumlah sampel smakin membengkak jumlahnya.
Selain para
informan di atas, dalam penelitian ini juga ditunjuk beberapa orang informan
tambahan. Orang-orang yang ditunjuk sebagai informan tambahan adalah
orang-orang yang benar-benar memahami tentang Esensi Wayang Sapuh Leger. dengan
menggunakan sumber data seperti di atas, dihahrapkan perolehan data menjadi
lebih kaya dan memadai.
3.6 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data
adalah suatu metode yang khusus dipergunakan sebagai alat untuk memproleh data.
Sesuai dengan data yang dikumpulkan di atas, maka dalam penelitian ini
digunakan beberapa metode dan teknik pengumpulan data utama, yaitu sebagai berikut:
3.6.1 Metode Observasi
Metode
observasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan
langsung kelapangan dan dilakukan pula dengan pencatatan-pencatatan secara
sistematis. Observasi atau pengamatan merupakan salah satu teknik pengumpulan
data /fakta yang cukup efektif untuk mempelajari suatu sistem. Observasi adalah
pengamatan langsung para pembuat keputusan berikut lingkungan fisiknya dan atau
pengamatan langsung suatu kegiatan yang sedang berjalan (Sutrisno, 1986: 136).
Adapun observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah seperti bagaimana proses-proses ritual upacara wayang sapu leger serta simbol-simbol yang digunakan dalam
pementasannya .
3.6.2 Metode Wawancara
Metode
wawancara merupakan suatu bentuk komunikasi semacam Tanya jawab secara langsung
anatara penyelidik dengan subjek berupa percakapan yang bertujuan untuk
memproleh informasi. Metode wawancara dipergunakan dalam suatu penelitian guna
memproleh data yang lebih objektif dengan pencatatan yang sistematis sebagi tujuan
penelitian (Sutrisno, 1986: 193). Wawancara dilakukan untuk mendapatkan
berbagai informasi menyangkut masalah yang diajukan dalam penelitian. Wawancara
dilakukan kepada responden yang dianggap menguasai masalah penelitian. Metode wawancara
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara mendalam artinya
wawancara dilakukan secara berulang-ulang kepada sejumlah informasi untuk
mendapatkan data yang benar kepada setiap aspek dan objek penelitian.
Hal-hal
yang ditanyakan atau dijadikan bahan wawancara dalam penelitian ini adalah
mencari data tentang fungsi dan makna pertunjukan wayang sapuh leger. adapun yang
ditetapkan sebagai informan kunci dalam penelitian ini adalah Dalang, Sulinggih, serta tokoh masyarakat yang tau tentang wayang sapu leger.
3.6.3 Metode Dokumentasi
Metode
pencatatan dokumen adalah suatu cara untuk memproleh data yang dilakukan dengan
mengumpulkan segala macam dokumen serta mengadakan secara sistematis (Gorda,
1994: 81). Sementara itu di dalam buku prosedur penelitian juga menjelaskan
dokumentasi, dari asal katanya dokumen, yang artinya benda-benda tertulis. Di
dalam mlaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis
seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya. Dalam pengertian yang lebih luas, dokumen
bukan hanya yang berwujud tulisan saja, tetapi dapat berupa benda-benda
peninggalan seperti prasasti dan simbol-simbol.
Dokumentasi
juga bisa berupa foto-foto, dan film dokumenter, yang ditujukan untuk memproleh
data langsung dari tempat penelitian (Riduwan, 2009: 31). Metode dokumentasi
ini merupakan metode utama apabila peneliti melakukan pendekatan analisis isi (Countent Analysis). Untuk penelitian
dengan pendekatan lain pun metode
dokumentasi juga mempunyai kedudukan penting (Arikunto, 2006: 158-159). Metode
dokumentasi ini dilakukan dengan cara mengumpulkan segala macam dokumen yang
berhubungan dengan topik penelitian. Adapun data-data yang digunakan melalui
metode dokumentasi adalah Desa Manistutu baik itu susunan pemerintahannya,
keadaan penduduk dan letak geografis.
3.7 Teknik Analisis Data
Analisis
data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis hasil wawancara,
catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang telah terhimpun untuk memproleh
jalan pengetahuan mengenai data tersebut dan mengkomunikasikan apa yang telah
ditemukan (Bogdan dan Biklen, 1982: 239).
Paton dalam
Moleong (1993: 103), mengemukakan bahwa analisis adalah proses mengatur urutan
data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian
dasar agar dapat ditafsirkan. Nasution (1996: 126) menjelaskan bahwa tafsiran
atau interpretasi artinya memberikan
makna pada analisis, menjelaskan pola atau kategori dan mencari hubungan antara
berbagai konsep. Hal ini dilakukan secara terus menerus sejak awal sampai akhir
penelitian agar dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian.
Oleh karena data
dalam penelitian ini berujud kata-kata, kalimat-kalimat, paragraf-paragraf yang
dinyatakan dalam bentuk narasi yang bersifat deskriptif sebagai ciri khas dari
penelitian kualitatif. Maka adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis
data adalah mengguna teknik sebagai berikut:
3.7.1
Teknik
Deskriptif
Menurut Sutrisno
(1986: 8), metode deskriptif adalah suatu cara mengolah data yang dilakukan
dengan jalan menyusun secara sistematis, sehingga memproleh suatu kesimpulan.
Dalam pengolahan data secara deskriptif data yang diolah dikombinasikan antara
yang satu dengan yang lainnya, selanjutnya disusun secara sistematis dengan
harapan dapat ditarik kesimpulan secara umum. Dalam penelitian, data perlu
diseleksi dan kemudian data tadi dihubungkan anatar satu dengan yang lainnya
sehingga dicapai suatu rangkaian fakta yang saling berkaitan menjadi satu
kesatuan yang bulat. Untuk dapat menyusun fakta-fakta tadi diperlukan suatu
teknik tertentu. Adapun teknik yang dipergunakan disini yaitu:
1. Teknik
Induktif adalah suatu cara pengolahan data dengan jalan mengumpulkan data yang
bersifat khusus dan atas dasar itu dapat ditarik kesimpulan umum
2. Teknik
Argumentasi adalah suatu cara pengolahan data dengan menguraikan dan mengajukan
alasan-alasan mengenai suatu fakta sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan
tentang aspek penelitian.
3.7.2
Teknik
Analisis Kualitatif
Penelitian kualitatif
yaitu penelitian dengan sasaran terbatas, tetapi sasaran penelitian yang ada
digali semaksimal mungkin. Moleong (1993: 8) menyebutkan bahwa penelitian
kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu
sentuhan. Hal ini berarti bahwa penelitian kualitatif bekerja pada setting yang alami. Yang berupaya untuk
memahami, member tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan
orang-orang kepadanya.
Hutomo dalam
Sadikan (2001: 85-86) menyatakan bahwa sumber data penelitian kualitatif
bersifat alamiah artinya peneliti harus memahami gejala empirik (kenyataan)
secara langsung dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Sehubungan dengan
penelitian ini, maka penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif,
karena dalam penelitian ini akan berusaha menggambarkan fakta-fakta atau
masalah-masalah yang diselidiki terutama dalam kaitanya dengan Esensi Wayang Sapuh Leger Sebagai Ruwatan
Kelahiran Wuku Wayang.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro Toha M,
dkk, 2010. Metode Penelitian,
Jakarta: Universitas Terbuka.
Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan
Praktik, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Arwati, Ni Made Sri, 2013. Upacara Ngotonin Pada Hari Wuku Wayang, Denpasar
Bantas, I Ketut, 2009. Pendidikan Agama Hindu. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Bagus, I Gusti Ngurah, 1985. Upacara Ruwatan di Bali, dalam
Soedarsono, et al, Celaka , Sakit, Obat
dan Sehat Menurut Konsepsi O-rang Jawa, Yogyakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Bandem, I Made, 1991. Tari Bali sebuah Simbol Masyarakat Bali,
dalam seni: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, Yogyakarta: Perdana BP ISI
Bugin, Burhan, 2001. Metode Penelitian Sosial. Surabaya:
Airlangga University Press.
Bogdan dan Biklen, 1982. Qualitative Research for Education an
Introduction to Theory and Methods. Second
Edition. Allyn and Bacon A Division of Simon and Schuster Inc.
Cambell, Tom, 2001. Tujuh Teori Sosial, Yogyakarta: Kanisius
Cahyadi, I Made, 2006. Nilai-nilai pendidikan Agama Hindu Yang
Terdapat dalam Upacara Bayuh Oton Melalui Pagelaran Wayang Sapuh Leger.
Skripsi Fakultas Dharma Acarya, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Donder, I Ketut, 2005. Esensi Bunyi Gamelan dalam Prosesi Ritual
Hindu, Surabaya: Paramita.
Djuretna, A.I.M, 2003. Moral & Religi, Yogyakarta:
Kanisius.
Echols, John M. dan Shadily Hasan, 2000.
Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta:
Gramedia.
Endraswara, Suwardi, 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Fais,
Wayan, 2013. Tiga Kerangka Dasar Agama
Hindu. http://wayanfai-s.blogspot.com/2013/07/tiga-kerangka-dasar-agama-hindu-wayan.html
Gorda,
I Gusti Ngurah, 1994. Metodelogi
Penelitian Ilmu Sosial Ekonomi, Denpasar: Widyakriya Gematama.
Iqbal,
H. 2002. Metodelogi Penelitiandan dan
Aplikasi, Jakarta: Gihalva Indonesia.
Informasi
Pendidikan http://www.informasi-pendidikan.com/2013/08/objek-penelitian.html
Koentjaraningrat,
1987. Sejarah Teori Antropologi, Jakarta:
Universitas Indonesia.
, 1993. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Khan, Hazrat Inayat, 2002. Dimensi Musik-musik dan Bunyi,
Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Kartono, Kartini, 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial,
Bandung: CV. Banjar Maju.
Moleong, Lexy J, 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif,
Bandung: Tarsito.
Manuaba, Sugata, Yadnya, I Gede, 2013. Bayuh Oton, Denpasar: Puataka Bali Post.
Maulana, Achmad, 2003. Kamus Ilmiah Populer, Yogyakarta:
Absolut.
Nasir, Moh, 1998. Metodelogi Penelitian, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Pals, Daniel L, 2001. Seven Theries of Religion, Yogyakarta:
Qalam.
Poloma, Margaret, M. 2003. Sosiologi Kontemporer, Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Poerwadarminta, W, JS, 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi
Revisi. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Riduwan, 2004. Metode dan Teknik Penyusunan Tesis, Bandung: Alfabeta.
, 2009. Sekala Pengukuran Variabel-variabel
Pengukuran, Bandung: Alfabeta.
Sedyawati, Edi, 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
Sugriwa, I Gusti Bagus, 1963. Ilmu Pedalangan/Pewayangan. Denpasar:
Konservatori Karawitan Indonesia, Jurusan Bali.
Sudha, Ida Bagus Raka, 1980. Manuasia Yadnya Dalam Hubungannya dengan
Wayang Sapuh Leger, Skripsi Sarjana Fakultas Agama dan Kebudayaan, Institut
Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Sutrisno,
Hadi, 1986. Metodelogi Research,
Yogyakarta: Fakultas Psikologis Universitas Gajah Mada.
Sadikan,
Setya, Yuana, 2001. Metodelogi Penelitian
Kebudayaan, Surabaya: Citra Wicana.
Sukartha,
I Ketut. 2003. Agama Hindu. Penerbit: Ganeca Exact. http://id.wikipedia.org/wiki/Batara_Kala(diakses
tanggal 5 April 2013).
Subliyanto,
1 Juni 2010. Subjek Penelitian dan Responden. http://subliyanto.blogspot.com/2010/06/subjek-penelitian-dan-responden.html
Setiaman, Agus, 25 November
2008. Perspektif Sosiologi. https://agussetiaman.wordpress.com/2008/11/25/perspektif-sosiologi/
Wicaksana, I Dewa Ketut, 2007. Wayang Sapuh Leger, Denpasar: Pustaka
Bali Post.
Post a Comment
Post a Comment