-->

PANCA YADNYA -MATERI PENDIDIKAN AGAMA HINDU KELAS 7 SEMESTER 2

Post a Comment

picture by picxabay.com
A. Panca Yajña

Marilah kalian renungkan isi dan makna sloka di bawah ini 

Setelah mempelajari materi ini, peserta didik diharapkan mampu:

1. menjelaskan pengertian yajña;

2. menyebutkan dasar pelaksanaan yajña;

3. menyebutkan jenis yajña;

4. menjelaskan kualitas yajña, yaitu Sattwika, Rajasika dan Tamasika;

5. menyebutkan syarat pelaksanaan yajña;

6. mempratikan membuat upakara yajña yang sederhana.

Veda Vakya

 Devārsin mañusyamsca pitrn grhyasca devatah

Pujāyitva tatah pāscad Grhasthā sesabhugbha

Terjemahan

Setelah melakukan persembahan kepada para dewata, lalu kepada para Rsi dan leluhur yang telah suci, kepada deva penjaga rumah dan juga kepada tamu. Setelah itu barulah pemilik rumah boleh makan. Dengan demikian, ia terbebas dari dosa.

(Manava Dharmasastra III. 117)

 Saha-yajñāh prajāh sŗṣţvā purovaca prajāpatih

Anena prasavisyadhvam eva vo ‘stv iṣţa kama-dhuk

(Bhagavadgita, 3.10)

 Terjemahan

Pada zaman dulu Prajapati menciptakan manusia dengan Yajña dan bersabda dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu. (Niti Sastra IV.19)

Berdasarkan sloka tersebut, maka manusia sebagai makhluk tertinggi derajatnya dibandingkan makhluk hidup lainnya. Sudah sewajarnya manusia menyadari akan keberadaan dirinya yang diciptakan dan akan dipelihara atas dasar yajña. Beryajña adalah sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Kadang kala kamu sering bertanya-tanya, mengapa kita beryajña? Jawaban atas pertanyaan itu sudah barang tentu, karena manusia memiliki tiga hutang yang disebut Tri Rna. Adapun bagian-bagian Tri Rna antara lain:

1. Dewa Rna yaitu hutang yang patut kita bayar ke hadapan Tuhan sebagai Sang Pencipta.

2. Pitra Rna yaitu hutang yang patut kita bayar ke hadapan orang tua baik yang sudah meninggal maupun yang belum meninggal.

3. Rsi Rna yaitu hutang yang patut kita bayar ke hadapan para Rsi, sulinggih, atau guru.

Ketiga hutang itulah sebagai dasar atau landasan pelaksanaan yajña yang kita warisi sampai sekarang. Di samping itu dasar pelaksanaan yajña adalah Bhakti. Bhakti adalah bentuk penghormatan yang tulus ikhlas dan merupakan dasar utama pelaksanaan Yajña. Bhakti tidak memerlukan kecerdasan tinggi. Bhakti hanya memerlukan kesetiaan, ketulusan, keikhlasan, dan kesabaran. Bhakti adalah ajaran Veda yang mempunyai nilai etika dan sopan santun yang sangat tinggi. Dengan bhakti masyarakat jadi teratur. Umat Hindu diwajibkan bhakti kepada orang tua yang melahirkan, orang yang lebih tua, pejabat negara, guru, raja, dan alam. Bukan itu saja, rasa bhakti dan terima kasih juga diberikan untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai unsur lingkungan hidup yang ada di sekitar kita sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana.

B. Pengertian Yajña

Secara etimologi, kata Yajña berasal dari kata yaj yang berarti persembahan, pemujaan, penghormatan, dan korban suci. Kata yaj berasal dari bahasa Sanskerta. Jadi, pengertian yajña adalah korban suci yang tulus ikhlas tanpa pamrih. Berdasarkan sasaran yang akan diberikan.

C. Jenis-Jenis Yajña

1. Dewa Yajña

Yajña jenis ini adalah persembahan suci yang dihaturkan kepada Sang Hyang Widhi dengan segala manisfestasi-Nya. Contoh Dewa yajña dalam keseharian, melaksanakan puja Tri Sandya, sedangkan contoh Dewa yajña pada hari-hari tertentu adalah melaksanakan piodalan (upacara pemujaan) di pura dan lain sebagainya.Tujuan pelaksanaan Dewa yajña untuk membayar hutang yang kita miliki ke hadapan Sang Hyang Widhi serta segala manifestasi (Dewa Rna) yang menciptakan alam semesta beserta isinya termasuk kita.

2. Rsi Yajña

Rsi yajña adalah korban suci yang tulus ikhlas kepada para Rsi. Mengapa yajña ini dilaksanakan, karena para Rsi sudah berjasa menuntun masyarakat dan melakukan puja surya sewana setiap hari. Para Rsi telah mendoakan keselamatan dunia alam semesta beserta isinya. Bukan itu saja, ajaran suci Veda juga pada mulanya disampaikan oleh para Rsi. Para Rsi dalam hal ini adalah orang yang disucikan oleh masyarakat. Ada yang sudah melakukan upacara dwijati disebut Pandita, dan ada yang melaksanakan upacara ekajati disebut Pinandita atau Pemangku. Umat Hindu memberikan yajña terutama pada saat mengundang orang suci yang dimaksud untuk menghantarkan upacara yajña yang dilaksanakan. Tujuan pelaksanaan Rsi yajña adalah untuk membayar hutang yang kita miliki ke hadapan Sulinggih, para Rsi, atau para guru (Rsi Rna). Rsi yajña juga merupakan bentuk rasa terima kasih kita kepada para guru (Rsi Rna) atas petunjuk, nasehat, ilmu pengetahuan yang diberikan kepada kita. Dengan ilmu pengetahuan tersebut kita dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk.

3. Pitra Yajña

Korban suci jenis ini adalah bentuk rasa hormat dan terima kasih kepada para Pitara atau leluhur karena telah berjasa ketika masih hidup melindungi kita. Kewajiban setiap orang yang telah dibesarkan oleh orang tua (leluhur) untuk memberikan persembahan yang terbaik secara tulus ikhlas. Ini sangat sesuai dengan ajaran suci Veda agar umat Hindu selalu saling memberi demi menjaga keteraturan. Tujuan dari pelaksanaan Pitra yajña adalah untuk membayar hutang kehadapan para leluhur (Pitra Rna) yang merawat dan membesarkan kita.

4. Manusa Yajña

Manusa yajña adalah pengorbanan untuk manusia, terutama bagi mereka yang memerlukan bantuan. Umpamanya ada musibah banjir dan tanah longsor. Banyak pengungsi yang hidup menderita. Dalam situasi begini, umat Hindu diwajibkan untuk melakukan Manusa yajña dengan cara memberikan sumbangan makanan, pakaian layak pakai, dan sebagainya. Bila perlu terlibat langsung untuk menjadi relawan yang membantu secara sukarela. Dengan demikian, memahami Manusa yajña tidak hanya sebatas melakukan serentetan prosesi keagamaan, melainkan juga kegiatan kemanusiaan seperti donor darah dan membantu orang miskin juga termasuk Manusa yajña. Namun, Manusa yajña dalam bentuk ritual keagamaan juga penting untuk dilaksanakan. Karena sekecil apapun sebuah yajña dilakukan, dampaknya sangat luas dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Umpamanya, kalau kita melaksanakan upacara potong gigi, maka semuanya ikut terlibat dan kena dampak. Untuk upacara Manusa yajña, agama Hindu mengajarkan agar dilakukan dari sejak dalam kandungan seorang ibu. Tujuan pelaksanaan manusa yajña adalah untuk membayar leluhur (Pitra Rna) yang telah membantu kita disaat membutuhkan pertolongan, juga untuk penyucian diri.

5. Bhuta Yajña

Bhuta yajña adalah korban suci yang tulus ikhlas tanpa pamrih kepadamakhluk bawahan (para bhuta), termasuk para bhuta sekala maupun niskala yang ada di sekitar kita. Para bhuta ini cenderung menjadi kekuatan yang tidak baik, suka mengganggu. Tujuan pelaksanaan Bhuta yajña adalah untuk membayar hutang yang kita memiliki kepada para bhuta seperti alam semesta, makhluk hidup, yang merupakan ciptaan Sanghyang Widhi. Jadi Bhuta yajña yang kita laksanakan untuk membayar hutang kepada Sang Hyang Widhi (Dewa Rna).

D. Bentuk Pelaksanaan Yajña

Dalam berbagai bentuk yajña dan nilai-nilai simbolisnya ditemukan dalam Bhagavadgita Bab IV pasal 23 sampai 30. Dalam kitab ini disimpulkan bahwa pengorbanan adalah tiap-tiap usaha yang berakibat mengurangi rasa keakuan dan mengurangi nafsu rendah semata-mata untuk mewujudkan bhakti kepada Hyang Widhi. Oleh karena itu, maka bentuk yajña dapat digolongkan ke dalam empat besar, yaitu: Widhi yajña, Druwya yajña, Jnana yajña, dan Tapa yajña.

1. Widhi Yajña

Widhi yajña adalah bentuk yajña yang diadakan dengan berlatar belakang pada kehidupan manusia yang mempunyai “hutang-hutang” atau Rnam. Rnam itu ada tiga, yaitu Dewa Rnam, Rsi Rnam, dan Pitra Rnam. Dewa Rnam adalah hutang manusia kepada Hyang Widhi. Berkat anugrah-Nya, atman atau roh dapat ber-reinkarnasi menjadi manusia; Rsi Rnam adalah hutang manusia kepada para Maha Rsi yang telah menyebarkan ajaran Veda sebagai pangkal ilmu pengetahuan sehingga manusia mempunyai kemampuan meningkatkan kualitas kehidupannya; Pitra Rnam adalah hutang manusia kepada leluhur sebagai yang mengembangkan keturunan. Manusia yang berbudi hendaknya menyadari adanya Tri Rnam ini serta melakukan yajña sebagaimana disebutkan dalam Manawa Dharmasastra

Buku ke-IV (Atha Caturtho Dhayah) pasal 21:

Rsi yajnam devayadnam bhuta yajnam ca sarvada, nryajnam

pitryajnam ca yathacakti na hapayet

“Hendaknya janganlah sampai lupa, jika mampu melaksanakan yajña untuk para Rsi, para Dewa, kepada unsur-unsur alam (Bhuta), kepada sesama manusia dan kepada para leluhur.”

Ajaran ini berkembang di Nusantara sebagai “Panca yajña” dengan urutan: Dewa yajña, Rsi yajña, Pitra yajña, Manusa Yajña, dan Bhuta yajña. Tri Rnam “dibayar” dengan Panca yajña, sebab ada yajña-yajña yang bermakna atau bertujuan sama dalam kaitan Rnam, yaitu: Dewa Yajña dan Bhuta yajña ada dalam kaitan Dewa Rnam; Pitra Yajña dan Manusa yajña ada dalam kaitan Pitra Rnam, dan Rsi yajña khusus untuk Rsi Rnam.

2. Druwya Yajña

Druwya yajña adalah pengorbanan dalam bentuk materi yang diberikan kepada seseorang yang membutuhkan. Dalam keseharian, Druwya yajña ini dikenal dengan kegiatan me-Dana Punia. Dana Punia yang dilakukan tanpa mengharap balas jasa itulah yang utama sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita XVII pasal 20:

Datavyam iti yad danam, diyate nupakarine, dese kale ca patre ca, tad

danam sattvikam smrtam

 “Pemberian dana yang dilakukan kepada seseorang tanpa harapan kembali, dengan perasaan sebagai kewajiban untuk memberi kepada orang yang patut, dalam waktu dan tempat yang patut itulah yang disebut sattvika (baik).”

3. Jnana Yajña

Jnana yajña adalah pengorbanan dalam bentuk kegiatan belajar dan pembelajaran. BhagavadgitaVII membedakan antara Vijnana dengan Jnana sebagai berikut: Vijnana adalah pengetahuan yang berdasarkan pemikiran dan kecerdasan, sedangkan Jnana adalah pengetahuan mengenai ke-Tuhan-an. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa Jnana tidak mungkin diperoleh tanpa Vijnana, karena Vijnana adalah dasar yang kuat untuk meningkatkan pengetahuan rohani. Jnana yajña tidak hanya bermanfaat bagi orang lain, tetapi juga bagi diri sendiri, karena sangat membantu upaya manusia dalam pendakian kesadaran spiritual. Kegiatan belajar dan proses pembelajaran adalah contoh Jnana Yajña yang disebut sebagai bentuk Yajña yang lebih agung, dalam BhagavadgitaIV pasal 33:

Sreyan dravyamayad yajnaj, jnanayajnah paramtapa, sarvam karma

khilam partha, jnane parisamapyate

“Persembahan korban berupa ilmu pengetahuan adalah lebih agung sifatnya dari korban benda yang berupa apapun jua, sebab segala pekerjaan dengan tiada kecuali memuncak dalam kebijaksanaan yang diperoleh melalui pengetahuan.”

4. Tapa Yajña

Tapa Yajña adalah pengorbanan atau Yajña yang tertinggi nilainya karena berwujud sebagai pengendalian diri masing-masing individu. Tapa Yajña juga disebut sebagai kegiatan pendakian spiritual seseorang dalam upaya meningkatkan kualitas beragama. Tahapan-tahapan peningkatan kualitas beragama, menurut Lontar Sewaka Dharma seperti berikut ini.

a. Ksipta, seperti perilaku kekanak-kanakan yang cepat menerima sesuatu yang dianggapnya baik tanpa pertimbangan yang matang.

b. Mudha, seperti perilaku pemuda: pemberani, selalu merasa benar, kurang mempertimbangkan pendapat orang lain.

c. Wiksipta, seperti perilaku orang dewasa, mengerti hakekat kehidupan, memahami subha dan asubha karma.

d. Ekakrta, seperti perilaku orang tua, yaitu keyakinan yang kuat pada Hyang Widhi, mempunyai tujuan yang suci dan mulia.

e. Nirudha adalah perilaku orang-orang suci, penuh pengertian, bijaksana. Segala pemikiran perkataan dan perbuataannya terkendali oleh ajaran-ajaran agama yang kuat, serta mengabdi pada kepentingan umat manusia.

Setelah melalui proses belajar dan pembelajaran dalam filosofi Veda, manusia akan dapat membuat perubahan kualitas kehidupan yang nyata, dan juga meluasnya lingkaran pengaruh individu kepada lingkungannya. Dikaitkan dengan prinsip-prinsip Sanatana Dharma, maka kualitas kehidupan manusia dari zaman ke zaman akan semakin membaik seiring dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yajña adalah persembahan atau korban suci yang dilakukan dengan hati tulus ikhlas dengan tidak mengharapkan imbalan. Dilihat dari waktu pelaksanaan, yajña dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu:

1. Nitya Karma yaitu yajña yang dilaksanakan setiap hari.

2. Naimitika Karma yaitu yajña yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.

Pelaksanaan yajña yang berkaitan dengan Tri Rna dikelompokkan menjadi 5 yang disebut dengan Panca yajña yang terdiri dari:

a. Dewa yajña yaitu persembahan atau korban suci ke hadapan Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya yang dilakukan dengan hati yang tulus ikhlas.

Contoh pelaksanaan Dewa yajña secara Nitya Karma:

1) sembahyang Tri Sandhya.

2) melaksanakan yajña sesa.

3) berdoa dll.

Contoh pelaksanaan Dewa yajña secara Naimitika Karma:

1) Mendirikan tempat suci.

2) Melaksanakan puja wali (odalan).

3) Merayakan hari raya keagamaan.

b. Pitra yajna yaitu korban suci yang dilakukan dengan hati yang tulus ikhlas ditujukan kepada para leluhur. Ada tiga hutang kita kepada orang tua (leluhur) seperti:

1) kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.

2) kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.

3) kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha

Contoh pelaksanaan Pitra yajna secara Nitya Karma:

1) menjadi anak yang baik.

2) menuruti nasehat orang tua

3) merawat orang tua selagi sakit

4) mematuhi nasehat orang tua

Contoh pelaksanaan Pitra yajña secara Naimitika Karma:

1) melaksanakan upacara pitra yajña

2) membuat upacara pengabenan pada saat orang tua meninggal

3) melaksanakan upacara atma wadana

4) melaksanakan upacara atiwa-tiwa

5) melaksanakan pemujaan kepada leluhur, dll

c. Rsi yajna yaitu korban suci yang tulus ikhlas kepada Para Maha Rsi, Pendeta, dan para guru.

Contoh pelaksanaan Rsi yajña secara Nitya Karma:

1) mempelajari ilmu pengetahuan.

2) hormat dan patuh kepada catur guru.

3) meneruskan dan melaksanakan ajaran catur guru.

4) mengamalkan ajaran guru dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh pelaksanaan Rsi yajña secara Naimitika Karma:

1) penobatan calon sulinggih (pemimpin agama Hindu) menjadi sulinggih yang disebut upacara diksa.

2) membangun tempat- tempat pemujaan untuk sulinggih.

3) menghaturkan/ memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada sulinggih.

d. Manusa yajña yaitu korban suci yang tulus ikhlas yang ditujukan kepada sesama manusia.

Contoh pelaksanaan Manusa yajña secara Nitya Karma:

1) saling menghormati sesama manusia.

2) membangun kerjasama antar sesama manusia.

3) gotong royong.

4) membantu sesama manusia.

5) membantu anak yatim piatu.

6) dll.

Contoh pelaksanaan Manusa yajña secara Naimitika Karma:

1) upacara bayi dalam kandungan.

2) upacara bayi lahir.

3) upacara otonan (hari kelahiran).

4) upacara potong gigi.

5) upacara pernikahan.

e. Yajña yaitu korban suci yang tulus ikhlas, yang ditujukan kepada para bhuta kala, makhluk di bawah manusia dan alam semesta.

Contoh pelaksanaan Bhuta yajna secara Nitya Karma:

1) melestarikan lingkungan, tumbuh-tumbuhan dan binatang.

2) membuang sampah pada tempatnya.

3) menanami hutan yang gundul.

4) membersihkan saluran air (selokan).

Contoh pelaksanaan Bhuta yajna secara Naimitika Karma:

1) menghaturkan segehan, caru, dan tawur.

2) merayakan tumpek kandang, tumpek pengarah, dll.

Dalam pelaksanaan yajña tersebut hendaknya disesuaikan dengan Desa, Kala, dan Patra.

1) Desa artinya disesuaikan dengan daerah/tempat diselenggarakannya yajña.

2) Kala artinya disesuaikan dengan waktu penyelenggaraan yajña.

3) Patra artinya disesuaikan dengan keadaan/kemampuanm penyelenggaraan


Syarat-Syarat Pelaksanaan Yajña Satwika

Agar pelaksanaan yajña lebih efisien, maka syarat pelaksanaan yajña perlu mendapat perhatian, yaitu:

1. Sastra, yajña harus berdasarkan Veda;

2. Sraddha, yajña harus dengan keyakinan;

3. Lascarya, keikhlasan menjadi dasar utama yajña;

4. Daksina, memberikan dana kepada pandita;

5. Mantra, puja, dan gita wajib ada pandita atau pinandita;

6. Nasmuta atau tidak untuk pamer, jangan sampai melaksanakan yajña hanya untuk menunjukkan kesuksesan dan kekayaan; dan

7. Anna Sevanam, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cara mengundang untuk makan bersama.

Salah Satu Cerita yang Berhubungan dengan Syarat Yajña 

Pada zaman Mahabharata dikisahkan Panca Pandawa melaksanakan yajña sarpa yang sangat besar dan dihadiri oleh seluruh rakyat dan undangan dari raja-raja terhormat dari negeri tetangga. Bukan itu saja, undangan juga datang dari para pertapa suci yang berasal dari hutan atau gunung. Tidak dapat dilukiskan betapa meriahnya pelaksanaan upacara besar yang mengambil tingkatan utamaning utama. Menjelang puncak pelaksanaan yajña, datanglah seorang Brahmana suci dari hutan ikut memberikan doa restu dan menjadi saksi atas pelaksanaan upacara yang besar itu. Seperti biasanya, setiap tamu yang hadir dihidangkan berbagai macam makanan yang lezat-lezat dalam jumlah yang tidak terhingga. Begitu juga Brahmana Utama ini diberikan suguhan makanan yang enak-enak. Setelah melalui perjalanan yang sangat jauh dari gunung ke ibu kota Hastinapura, Brahmana Utama ini sangat lapar dan pakaiannya mulai terlihat kotor. Begitu dihidangkan makan oleh para dayang kerajaan, Sang Brahmana Utama langsung melahap hidangan tersebut dengan cepat bagaikan orang yang tidak pernah menemukan makanan. Bersamaan dengan itu melintaslah Dewi Drupadi yang tidak lain adalah penyelenggara yajña besar tersebut. Begitu melihat caranya sang Brahmana Utama menyantap makanan secara tergesa-gesa, berkomentarlah Drupadi sambal mencela. “Kasihan Brahmana Utama itu, seperti tidak pernah melihat makanan, cara makannya tergesa-gesa,” kata Drupadi dengan nada mengejek. Walaupun jarak antara Dewi Drupadi mencela Sang Brahmana Utama cukup jauh, karena kesaktian dari Brahmana ini maka apa yang diucapkan oleh Drupadi dapat didengarnya secara jelas. Sang Brahmana Utama diam, tetapi batinnya kecewa. Drupadi pun melupakan peristiwa tersebut. Di dalam ajaran agama Hindu, apabila kita mencela, maka pahalanya akan dicela dan dihinakan. Terlebih lagi apabila mencela seorang Brahmana Utama,pahalanya bisa bertumpuk-tumpuk. Dalam kisah berikutnya, Dewi Drupadi mendapatkan penghinaan yang luar biasa dari saudara iparnya yang tidak lain adalah Duryadana dan adik-adiknya. Di hadapan Maha Raja Drestarata, Rsi Bisma, Bhagawan Drona, Kripacarya, dan Perdana Menteri Widura serta disaksikan oleh para menteri lainnya, Dewi Drupadi dirobek pakaiannya oleh Dursasana atas perintah Pangeran Duryadana. Perbuatan biadab merendahkan kehormatan wanita dengan merobek pakaian di depan umum, berdampak pada kehancuran bagi negeri para penghinanya. Terjadinya penghinaan terhadap Drupadi adalah pahala dari perbuatannya yang mencela Brahmana Utama ketika menikmati hidangan. Dewi Drupadi tidak bisa ditelanjangi oleh Dursasana, karena dibantu oleh Krishna dengan memberikan kain secara ajaib yang tidak bisa habis sampai adiknya Duryodana kelelahan lalu jatuh pingsan. Krishna membantu Drupadi karena Drupadi pernah berkarma baik dengan cara membalut jari Krishna yang terkena Panah Cakra setelah membunuh Supala. Pesan moral dari cerita ini adalah, kalau melaksanakan yajña harus tulus ikhlas, tidak boleh mencela dan tidak boleh ragu-ragu.

Kualitas dan Tingkatan Yajña

1. Kualitas Yajña

Ada tiga kualitas yajña, menurut Bhagavadgita XVII. 11, 12, dan 13 menyebutkan ada tiga Yajña itu, yakni:

a. Satwika yajña, yaitu kebalikan dari Tamasika yajña dan Rajasana yajña bila didasarkan penjelasan Bhagavaragita tersebut di atas.

b. Rajasika yajña, yaitu yajña yang dilakukan dengan penuh harapan akan hasilnya dan dilakukan untuk pamer saja.

c. Tamasika yajña yaitu yajña yang dilakukan tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk sastranya, tanpa mantra, tanpa ada kidung suci, tanpa ada daksina, tanpa didasari oleh kepercayaan.

a. Sattwika Yajña

Sattwika yajña adalah yajña yang dilaksanakan sudah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat yang dimaksud, antara lain:

1. Yajña harus berdasarkan sastra. Tidak boleh melaksanakan yajña sembarangan, apalagi didasarkan pada keinginan diri sendiri karena mempunyai uang banyak. Yajña harus melalui perhitungan hari baik dan buruk. Yajña harus berdasarkan sastra dan tradisi yang hidup dan berkembang di masyarakat.

2. Yajña harus didasarkan keikhlasan. Jangan sampai melaksanakan yajña ragu-ragu. Berusaha berhemat pun dilarang di dalam melaksanakan yajña. Hal ini mengingat arti yajña itu adalah pengorbanan suci yang tulus ikhlas. Sang Yazamana atau penyelenggara yajña tidak boleh kikir dan mengambil keuntungan dari kegiatan yajña. Apabila dilakukan, maka kualitasnya bukan lagi sattwika namanya.

3. Yajña harus menghadirkan Sulinggih yang disesuaikan dengan besar kecilnya yajña. Kalau yajñanya besar, maka sebaiknya menghadirkan seorang Sulinggih Dwijati atau Pandita. Tetapi kalau yajñanya kecil, cukup dipuput/diselesaikan oleh seorang Pemangku atau Pinandita saja.

4. Dalam setiap upacara yajña, Sang Yazamana harus mengeluarkan daksina. Daksina adalah dana uang kepada Sulinggih atau Pinandita yang muput yajña. Jangan sampai tidak melakukan itu, karena daksina adalah bentuk dari Rsi yajña dalam Panca yajña.

5. Yajña juga sebaiknya menghadirkan suara genta, gong atau mungkin Dharmagita. Hal ini juga disesuaikan dengan besar kecilnya yajña. Apabila biaya untuk melaksanakan yajña tidak besar, maka suara gong atau Dharmagita boleh ditiadakan

b. Rajasika Yajña

Rajasika yajña adalah kualitas yajña yang relatif lebih rendah. Walaupun semua persyaratan dalam Sattwika yajña sudah terpenuhi, namun apabila Sang Yazamana atau yang menyelenggarakan yajña ada niat untuk memperlihatkan kekayaan dan kesuksesannya, maka nilai yajña itu menjadi rendah. 

Dalam Siwa Purana disampaikan bahwa seorang raja mengundang Dewa Siwa untuk menghadiri dan memberkati yajña yang akan dilaksanakannya. Dewa Siwa mengetahui bahwa tujuan utama mengundang-Nya hanyalah untuk memamerkan jumlah kekayaan, kesetiaan rakyat, dan kekuasaannya. Mengerti akan niat tersebut, raja pun mengundang Dewa Siwa, maka pada hari yang telah ditentukan, Dewa Siwa tidak mau datang, tetapi mengirim putranya yang bernama Dewa Gana untuk mewakili-Nya menghadiri undangan Raja itu. Dengan diiringi banyak prajurit, berangkatlah Dewa Gana ke tempat upacara. Upacaranya sangat mewah, semua raja tetangga diundang, seluruh rakyat ikut memberikan dukungan. Dewa Gana diajak berkeliling istana oleh raja sambil menunjukkan kekayaannya berupa emas, perak, dan berlian yang jumlahnya bergudang-gudang. Dengan bangga, raja menyampaikan jumlah emas dan berliannya.Sementara rakyat dari kerajaan ini masih hidup miskin karena kurang diperhatikan oleh raja dan pajaknya selalu dipungut oleh Raja. Mengetahui hal tersebut, Dewa Gana ingin memberikan pelajaran kepada Sang Raja. Ketika sampai pada acara menikmati suguhan makanan dan minuman, maka Dewa Gana menghabiskan seluruh makanan yang ada. Bukan itu saja, seluruh perabotan berupa piring emas dan lain sebagainya semua dihabiskan oleh Dewa Gana. Raja menjadi sangat bingung sementara Dewa Gana terus meminta makan. Apabila tidak diberikan, Dewa Gana mengancam akan memakan semua kekayaan dari Sang Raja. Khawatir kekayaannya habis dimakan Dewa Gana, lalu Raja ini kembali menghadap Dewa Siwa dan mohon ampun. Lalu diberikan petunjuk dan nasihat agar tidak sombong karena kekayaan dan membagikan seluruh kekayaan itu kepada seluruh rakyat secara adil. Kalau menyanggupi, barulah Dewa Gana menghentikan aksinya untuk minta makan terus kepada Raja. Dengan terpaksa Raja yang sombong ini menuruti nasihat Dewa Siwa yang menyebabkan kembali baiknya Dewa Gana. Pesan moral yang disampaikan cerita ini adalah, janganlah melaksanakan yajña berdasarkan niat untuk memamerkan kekayaan. Selain membuat para undangan kurang nyaman, juga nilai kualitas yajña tersebut menjadi lebih rendah.

c. Tamasika Yajña

Tamasika tajña adalah yajña yang dilaksanakan dengan motivasi agar mendapatkan untung. Kegiatan ini sering dilakukan sehingga dibuat Panitia yajña dan diajukan proposal untuk melaksanakan upacara yajña dengan biaya yang sangat tinggi. Akhirnya yajña jadi berantakan karena

Panitia banyak mencari untung. Bahkan setelah yajña dilaksanakan, masyarakat mempunyai hutang di sana sini. Yajña semacam ini sebaiknya jangan dilakukan karena sangat tidak mendidik.

2. Tingkatan Yajña

Tingkatan yajña dalam hal ini hanya berhubungan dengan tingkat kemampuan dari umat yang melaksanakan yajña. Yang terpenting dari yajña adalah kualitasnya. Namun demikian, Veda mengakomodir perbedaan tingkat sosial masyarakat. Bagi mereka yang kurang mampu, dipersilakan memilih yajña yang lebih kecil, yaitu madyama atau kanista. Tetapi bagi umat yang secara ekonomi mampu, tidak salah untuk mengambil tingkatan yajña yang lebih besar yang disebut utama.Adapun tingkatan-tingkatan yang dimaksud, yaitu:

a. Kanista, yajña dengan sarana yang sederhana atau minim;

b. Madyama, yajña dengan sarana menengah, tetapi disesuaikan dengan kemampuan Sang Yadnamana; dan

c. Utama, yajña yang dilakukan dengan sarana lengkap, besar, megah, dan cenderung mewah. Biasanya dilakukan oleh mereka yang mampu secara ekonomi, para raja atau pejabat.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter